POPO ISKANDAR ( di kutip dari : tamanismailmarzuki.com)
Popo
iskandar termasuk sederetan pelukis terkemuka yang setia pada kodratnya
bekerja untuk melahirkan karya-karya seni lukis. Ia berpameran retrospektif
di ruang pameran TIM pada tanggal 26 September s/d 1 Oktober ’1978.
Pameran
ini merupakan suatu pertanggung-jawaban sang pelukis terhadap usahanya selama
ini, selama 35 tahun, semacam berhenti sejenak sambil menengok dari masa
panjang yang telah dilalui. Pameran ini menghidangkan karya-karyanya sejak
tahun 1949 hingga tahun 1978, sejumlah 45 buah lukisan dan 30 sketsa, yang
masih disimpan (sempat diselamatkan) atau yang dipinjam dari berbagai lembaga
dan perorangan.
Penampilan
semacam ini, senada dengan Pameran Affandi, tahun 1974 di tempat yang sama.
Dalam pengantar pertanggung-jawaban itu Popo Iskandar menyatakan, “Ada
dikatakan orang, bahwa seorang seniman seakan meraih dalam kegelapan. Seni
adalah hasil pertumbuhan di mana si seniman sendiri tidak mengetahui sejak
awal bagaimana hasil akhir karyanya. Akan tetapi justru karena seni adalah
perkembangan, bukanlah dalam usahanya untuk mengenal dirinya sendiri secara
menyeluruh ada baiknya untuk mengenal wajah -wajah dirinya di masa-masa yang
lampau”.”
Seluruh uraian itu berusaha hendak menjelaskan tentang
posisinya dan kesadarannya sebagai seniman pelukis. Sejak penghayatannya
terhadap kehidupan menelusuri lorong, pasar dan pelosok kota Bandung
bersama Hendra, Angkama, Abas Alibasyah untuk menangkap kehidupan dan gerak
kehidupan sehari-hari dalam tuangan seni lukisnya. Menurut Popo Iskandar,
seluruh proses kesenian berarti mata rantai dari keberhasilan dan
kegagalan. Semacam melihat grafik kegiatan. Kegagalan demi kegagalan
dirasakan akan menjadi perangsang penciptaan yang akan datang.
|
Sudarmaji
dalam buku Seni Lukis Jakarta Dalam
Sorotan (Pemerintah DKI Jakarta, 1974) menulis, Lukisan Popo mutakhir
menunjukkan esensifnya menggarap fenomena. Sudah itu makin suka menjelajahi image subyektifnya. Pada tahun 1968
Popo masih lebih terikat pada wujud obyeknya. Komposisinya mantap,
warna-warnanya lembut sekitar putih dan kelabu atau warna-warna intermediate pada umumnya. Sebuah
lukisannya Bambu berwujud goresan putih yang melengkung-lengkung di atas
kanvas putih. Dalam hal putih diatas putih ini tentu dengan mudah orang ingat
akan putihnya Malevich meskipun wujudnya amat berbeda. Pada periode 1972
dapat dilihat adanya usaha penampilan goresan yang tidak konsekuen. Disatu
tempat muncul sapuan lembut, sedangkan di bagian lain ia tarik sapuan kasar.
Dalam
buku Sanento Yuliman Cs. Seni Lukis
Indonesia Baru Sebuah Pengantar
(Dewan Kesenian Jakarta 1976), Popo Iskandar bersama Oesman Effendi, G.
Sidharta, Fajar Sidik, Srihadi, But Muchtar ditempatkan pada periode
peralihan, karena kecenderungannya kepada abstarksi, mereka masuk dalam masa
Menuju Seni Lukis Abstrak 1955-1960, Bagian dari kecenderungan masa ketiga,
dalam sejarah Seni Lukis Indonesia.
Mungkin
sejalan dengan penglihatan Sudarmaji diatas dan sehubungan dengan banyaknya
lukisan untuk cover buku (PT. Dunia
Pustaka Jaya), terasa adanya kecenderungan goresan yang tegas, warna yang
menyolok (warna primer), kontras yang tajam dan tegang. Disamping beberapa
lukisan seperti hasil lukisan proyek Pertamina”dulu, dan beberapa lukisannya
yang menunjukkan keterbatasan warna (hitam-putih), hitam saja dan sapuan
lembut maupun tiba-tiba tegas. Tentang ini Popo mengatakan, “Pada sampul buku
(cover) mengingat fungsinya, sekaligus harus menarik perhatian (mengolah
warna primer). Sedangkan pada lukisan saya tidak memerlukan agitasi. Kadang
bila perlu menggunakan warna yang menyolok (hitam putih periode 1976). Sebab
dalam periode ekspresionisme memerlukan kelangsungan”.
Popo menamakan dirinya dalam periode ekspresionisme. Ia
mengatakan bahwa dalam banyak hal sejalan dengan ekspiresionisme Affandi.
Hanya bedanya, Affandi lebih suka harmoni (keseimbangan). Bedanya lagi
Affandi lebih suka kelangsungan. Saya lebih suka pengendapan. Ia tegaskan,
kelangsungan itu harus diendapkan, sehingga lahir ide-ide. Sebelum melukis
saya membuat persiapan ide lewat sketsa. Sehubungan dengan penilaian
Sanento Yuliman yang mengkatagorikan Popo dalam tahap peralihan ke
abstraksi tadi, Popo lebih menyadari dirinya sebagai pelukis cenderung ke
arah ekspresionisme (Kucing, Ayam Jago dan lain-lain).
|
Popo
juga pernah melewati periode lukisan laut, jala-jala, yang lebih menunjukkan
atau menemukan ritme. Sedangkan pada kucing (ekspresionistis) ia membedakan
dengan kucing sajak Sutardji Calzoum Bachri. Oleh karena itu, menurut Popo,
tiap seniman harus bisa mengatasi kungkungan media (materi/bahan) tidak
menggantungkan warna tertentu. Pada akhirnya harus menguasai seluruh media,
tidak menjadi budak media. Demikianlah Popo lebih memberikan penerangan pada
kita tentang kecenderungannya yang sekarang menggunakan warna terbatas
(hitam-putih, hitam, hitam-kuning dll). Yang sangat nampak dalam lukisan
mutakhir. Umpamanya Jago, Kucing dan Bulan, Kucing. Dimana warna hitam sangat
dominan.
Popo
Iskandar Belajar melukis sejak jaman Jepang. Lulusan ITB (1958). Anggota
Akademi Jakarta ini banyak berminat pada sastra dan seni pada umumnya. Dia
juga menulis buku Affandi Suatu Jalan
Baru Dalam Ekspresionisme (peringatan 70 tahun Affandi, Penerbitan
Akademi Jakarta,1977). Disamping tulisan kritik seni, sastra, lukis dan lain
– lain di berbagai harian dan majalah sejak tahun 1958 s/d 1987. Pada tahun
1944, karyanya terpilih untuk pameran keliling bersama pelukis-pelukis senior
seperti Affandi, S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan dll
dikota-kota besar Indonesia. Dia menerima kritik yang baik atas
karya-karyanya yang diperoleh antara lain dari Rio de Janeiro (1964), untuk
seni lukis, Tokyo dan Genoa (1978)) untuk karya grafis, Belanda (1985) untuk
seni lukis. Selain itu dia ditunjuk sebagai anggota juri untuk anugerah seni
RI (1969 s/d 1978) dan Biennale Dewan Kesenian Jakarta (1970 s/d 1984).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar