Senin, 05 Agustus 2013

Popo Iskandar, title : Kucing size 50 x 40 , Price Rp.20.000.000,- )/ ( Sold/ Terjual )

Popo Iskandar adalah salah satu Maesro Pelukis Indonesia yang karya karyanya di buru oleh setiap yang mengaku dirinya seorang  " Kolektor " , bahkan karya karya nya di kolesi oleh berbagai Museum dalam dan luar negeri.

 POPO  ISKANDAR ( di kutip dari : tamanismailmarzuki.com)


Popo iskandar termasuk sederetan pelukis terkemuka yang setia pada kodratnya bekerja untuk melahirkan karya-karya seni lukis. Ia berpameran retrospektif di ruang pameran TIM pada tanggal 26 September s/d 1 Oktober ’1978.

Pameran ini merupakan suatu pertanggung-jawaban sang pelukis terhadap usahanya selama ini, selama 35 tahun, semacam berhenti sejenak sambil menengok dari masa panjang yang telah dilalui. Pameran ini menghidangkan karya-karyanya sejak tahun 1949 hingga tahun 1978, sejumlah 45 buah lukisan dan 30 sketsa, yang masih disimpan (sempat diselamatkan) atau yang dipinjam dari berbagai lembaga dan perorangan.

Penampilan semacam ini, senada dengan Pameran Affandi, tahun 1974 di tempat yang sama. Dalam pengantar pertanggung-jawaban itu Popo Iskandar menyatakan, “Ada dikatakan orang, bahwa seorang seniman seakan meraih dalam kegelapan. Seni adalah hasil pertumbuhan di mana si seniman sendiri tidak mengetahui sejak awal bagaimana hasil akhir karyanya. Akan tetapi justru karena seni adalah perkembangan, bukanlah dalam usahanya untuk mengenal dirinya sendiri secara menyeluruh ada baiknya untuk mengenal wajah -wajah dirinya di masa-masa yang lampau”.”

Popo Iskandar-kucing

Seluruh uraian itu berusaha hendak menjelaskan tentang posisinya dan kesadarannya sebagai seniman pelukis. Sejak penghayatannya terhadap kehidupan menelusuri lorong, pasar dan pelosok kota Bandung bersama Hendra, Angkama, Abas Alibasyah untuk menangkap kehidupan dan gerak kehidupan sehari-hari dalam tuangan seni lukisnya. Menurut Popo Iskandar, seluruh proses kesenian berarti mata rantai dari keberhasilan dan kegagalan. Semacam melihat grafik kegiatan. Kegagalan demi kegagalan dirasakan akan menjadi perangsang penciptaan yang akan datang.


Sudarmaji dalam buku Seni Lukis Jakarta Dalam Sorotan (Pemerintah DKI Jakarta, 1974) menulis, Lukisan Popo mutakhir menunjukkan esensifnya menggarap fenomena. Sudah itu makin suka menjelajahi image subyektifnya. Pada tahun 1968 Popo masih lebih terikat pada wujud obyeknya. Komposisinya mantap, warna-warnanya lembut sekitar putih dan kelabu atau warna-warna intermediate pada umumnya. Sebuah lukisannya Bambu berwujud goresan putih yang melengkung-lengkung di atas kanvas putih. Dalam hal putih diatas putih ini tentu dengan mudah orang ingat akan putihnya Malevich meskipun wujudnya amat berbeda. Pada periode 1972 dapat dilihat adanya usaha penampilan goresan yang tidak konsekuen. Disatu tempat muncul sapuan lembut, sedangkan di bagian lain ia tarik sapuan kasar.

Dalam buku Sanento Yuliman Cs. Seni Lukis Indonesia Baru Sebuah Pengantar (Dewan Kesenian Jakarta 1976), Popo Iskandar bersama Oesman Effendi, G. Sidharta, Fajar Sidik, Srihadi, But Muchtar ditempatkan pada periode peralihan, karena kecenderungannya kepada abstarksi, mereka masuk dalam masa Menuju Seni Lukis Abstrak 1955-1960, Bagian dari kecenderungan masa ketiga, dalam sejarah Seni Lukis Indonesia.

Mungkin sejalan dengan penglihatan Sudarmaji diatas dan sehubungan dengan banyaknya lukisan untuk cover buku (PT. Dunia Pustaka Jaya), terasa adanya kecenderungan goresan yang tegas, warna yang menyolok (warna primer), kontras yang tajam dan tegang. Disamping beberapa lukisan seperti hasil lukisan proyek Pertamina”dulu, dan beberapa lukisannya yang menunjukkan keterbatasan warna (hitam-putih), hitam saja dan sapuan lembut maupun tiba-tiba tegas. Tentang ini Popo mengatakan, “Pada sampul buku (cover) mengingat fungsinya, sekaligus harus menarik perhatian (mengolah warna primer). Sedangkan pada lukisan saya tidak memerlukan agitasi. Kadang bila perlu menggunakan warna yang menyolok (hitam putih periode 1976). Sebab dalam periode ekspresionisme memerlukan kelangsungan”.

Popo Iskandar-si manis
Popo menamakan dirinya dalam periode ekspresionisme. Ia mengatakan bahwa dalam banyak hal sejalan dengan ekspiresionisme Affandi. Hanya bedanya, Affandi lebih suka harmoni (keseimbangan). Bedanya lagi Affandi lebih suka kelangsungan. Saya lebih suka pengendapan. Ia tegaskan, kelangsungan itu harus diendapkan, sehingga lahir ide-ide. Sebelum melukis saya membuat persiapan ide lewat sketsa. Sehubungan dengan penilaian Sanento Yuliman yang mengkatagorikan Popo dalam tahap peralihan ke abstraksi tadi, Popo lebih menyadari dirinya sebagai pelukis cenderung ke arah ekspresionisme (Kucing, Ayam Jago dan lain-lain).

Popo juga pernah melewati periode lukisan laut, jala-jala, yang lebih menunjukkan atau menemukan ritme. Sedangkan pada kucing (ekspresionistis) ia membedakan dengan kucing sajak Sutardji Calzoum Bachri. Oleh karena itu, menurut Popo, tiap seniman harus bisa mengatasi kungkungan media (materi/bahan) tidak menggantungkan warna tertentu. Pada akhirnya harus menguasai seluruh media, tidak menjadi budak media. Demikianlah Popo lebih memberikan penerangan pada kita tentang kecenderungannya yang sekarang menggunakan warna terbatas (hitam-putih, hitam, hitam-kuning dll). Yang sangat nampak dalam lukisan mutakhir. Umpamanya Jago, Kucing dan Bulan, Kucing. Dimana warna hitam sangat dominan.

Popo Iskandar Belajar melukis sejak jaman Jepang. Lulusan ITB (1958). Anggota Akademi Jakarta ini banyak berminat pada sastra dan seni pada umumnya. Dia juga menulis buku Affandi Suatu Jalan Baru Dalam Ekspresionisme (peringatan 70 tahun Affandi, Penerbitan Akademi Jakarta,1977). Disamping tulisan kritik seni, sastra, lukis dan lain – lain di berbagai harian dan majalah sejak tahun 1958 s/d 1987. Pada tahun 1944, karyanya terpilih untuk pameran keliling bersama pelukis-pelukis senior seperti Affandi, S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan dll dikota-kota besar Indonesia. Dia menerima kritik yang baik atas karya-karyanya yang diperoleh antara lain dari Rio de Janeiro (1964), untuk seni lukis, Tokyo dan Genoa (1978)) untuk karya grafis, Belanda (1985) untuk seni lukis. Selain itu dia ditunjuk sebagai anggota juri untuk anugerah seni RI (1969 s/d 1978) dan Biennale Dewan Kesenian Jakarta (1970 s/d 1984).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar