Surat terbuka ( yg kedua) kepada *Yth Presiden Republik Indonesia*
Dalam bentuk tulisan
*Penulis : JP Laa Manroe*
- Pengamat Kebijakan Nasional, Globalisme & Advokasi.
- Seniman Budayawan peraih puluhan Award Internasional
Judul tulisan ;
*My Presiden, Jabatan Menko tidak di perlukan lagi dalam kabinet ramping yang Effesien, hapus saja becouse it is devoid of utility*
* kajian kritis kepentingan Rakyat, Filosofi Politik, Empiris & komparasi Global.
Tata kelola Pemerintahan yg kuat modern, effesien & sederhana namun berbobot & berwibawa maka mau tidak mau salah satu indikator nya adalah memandang dan menelaah Eksitensi jabatan Menteri Koordinator (Menko) di Indonesia yang selalu dipresentasikan sebagai seakan akan itu adalah solusi kelembagaan demi memastikan koordinasi lintas kementerian.
Dengan Paradigma di jadikan linear terbentuk bahwa Menko berfungsi sebagai jembatan, pengendali kebijakan, dan penghubung politik agar kebijakan pemerintah berjalan harmonis.. Kemudian terkait hal tersbut, saya berpikir, apa benar seperti itu?
Mari kita telaah lagi
secara mendalam apa benar seperti itu untuk mendapatkan *ad finem et sensum verum assequendum* dlm kerangka makna tujuan kebenaran dlm sinergi dlm kabinet yg effesien & luwes.
*For the purpose of examining this issue comprehensively in the context of public governance."* maka mari Kita telaah melalui teropong teori administrasi publik, studi perbandingan internasional, dan refleksi filosofis tentang esensi kekuasaan, jabatan Menko justru lebih tepat dipandang sebagai lapisan tambahan birokrasi yang tidak esensial, dan bisa saja menjadi *fortasse onus aerarii augere* , padahal Negara kita sedang tidak baik baik saja dlm ekonomi, Politik, Hukum dll sehingga seharusnya di lakukan *pengetatatan anggaran* dll dll...
Terkait hal tersebut maka *saya sebagai anak Bangsa mencoba memberi masukan kepada Yth bapak Presiden* untuk
menghapus jabatan Menko dengan pendapat saya, al:
Dalam perspektif teori Weberian tentang birokrasi Pemerintahan, *kejelasan hierarki dan otoritas adalah syarat mutlak bagi rasionalitas sistem pemerintahan*
Di mana posisi Menko?
Menko secara posisional kelembagaan birokrasi Pemerintah berada di antara Presiden dan menteri teknis, menciptakan ambiguitas otoritas.
Ia bukan pemegang kekuasaan eksekutif penuh atas kementerian, tetapi juga bukan sekadar staf administratif. Ambiguitas ini menghasilkan potensi konflik kepentingan dan memperpanjang rantai komando.
Apakah hal tersebut mempengaruhi kebijakan Nasional yg strategis...
saya penulis ( JP Laa Manroe) mencoba mengkaji nya :
Dari *aspek Empirisnya* terlihat jelas ketika beberapa kebijakan strategis ekonomi, misalnya terkait investasi atau energi, justru tersendat karena adanya perbedaan pandangan antara menteri teknis dengan Menko.
Melihat Hasil penelitian Lembaga Administrasi Negara (LAN, 2018) menunjukkan bahwa lebih dari 40% keterlambatan penyusunan kebijakan lintas sektor terjadi akibat koordinasi antarunit yang tidak sinkron, dan posisi Menko tidak serta-merta memperbaiki masalah itu.
Sehingga di perlukan *ideo necessaria est notio emendationis* krn jika tidak ada konsep perbaikan maka yang di rugikan secara umum adalah rakyat.
Lebih jauh, jika kita menilik konsep New Public Management (NPM), efisiensi birokrasi menuntut struktur yang ramping, transparan, dan mudah dipertanggungjawabkan. Jabatan Menko, alih-alih menyederhanakan, justru memperbanyak layers of accountability. Ketika terjadi kegagalan kebijakan, publik kesulitan menagih pertanggungjawaban: apakah harus ditujukan kepada menteri teknis, kepada Menko, atau kepada Presiden? Ambiguitas inilah yang menciptakan apa yang disebut oleh Christopher Hood (1991) sebagai accountability trap.
Dari dimensi politik, jabatan Menko lebih sering berfungsi sebagai instrumen distribusi kekuasaan ketimbang kebutuhan koordinasi. Posisi Menko kerap dibagikan untuk menjaga keseimbangan koalisi partai atau di berikan kepada orang2 yg dekat dengan Parpol.
Analisis yang dilakukan oleh Marcus Mietzner (2015) tentang politik patronase di Indonesia menunjukkan bahwa jabatan menteri, khususnya Menko, sering menjadi currency of coalition.
Hal ini memperkuat pandangan David Easton bahwa sistem politik bekerja melalui input berupa tuntutan politik dan output berupa distribusi jabatan. Dengan kata lain, Menko bukanlah produk kebutuhan teknokratis, melainkan kebutuhan politis.
Terkait hal dimaksud maka “Itaque ego, scriptor JP Laa Manroe, comparationem linguae Latinae facere debeo.” dengan praktik positif internasional.
Inilah comparasi nya :
*Amerika Serikat, sebagai presidensial murni, tidak memiliki jabatan Menko*. Koordinasi lintas kementerian dijalankan oleh Chief of Staff Gedung Putih yang bersifat administratif, bukan politik.
*Inggris* mengandalkan Cabinet Office di bawah Perdana Menteri tanpa lapisan menteri koordinatif.
*Jerman* mempercayakan fungsi koordinasi kepada Bundeskanzleramt, dan *Jepang* mengandalkan Chief Cabinet Secretary.
Sehingga fakta2 tsb mengerucut bahwa :
Tidak ada satupun negara demokrasi mapan yang menambahkan posisi politik setingkat Menko untuk mengatur koordinasi.
Fakta ini menunjukkan bahwa jabatan Menko adalah institutional anomaly khas Indonesia yang lebih bernuansa kompromi politik ketimbang inovasi tata kelola dan perbaikan management kabinet.
Secara filosofis, persoalan Menko bisa dibaca melalui lensa Michel Foucault yang melihat kekuasaan sebagai jejaring relasi. Menko menciptakan distribusi kekuasaan yang justru memecah otoritas Presiden, sehingga efektivitas pengambilan keputusan berkurang.
Jika lihat pemikiran Machiavelli dalam Il Principe maka ide positif nya adalah menekankan pentingnya konsolidasi kekuasaan agar penguasa dapat bertindak cepat dan efektif.
Dalam tradisi lain, prinsip Occam’s Razor mengingatkan bahwa entitas kelembagaan tidak perlu ditambahkan jika tidak benar-benar diperlukan, apalagi di Indonesia yg sedang dlm kondisi tidak Baik baik saja terbukti telah terjadi nya demontrasi besar 2 an tgl 25 Agustus sdh awal September thn 2025 kemarin.
Dari sudut pandang ini, Menko hanyalah beban tambahan yang memperumit eksekusi.
Kritik lain yang perlu diajukan adalah bahwa keberadaan Menko seringkali mengasingkan politik dari rakyat. Hannah Arendt dalam The Human Condition menegaskan bahwa politik sejatinya adalah ruang tindakan yang memungkinkan manusia bersama-sama membentuk dunia.
Jika proses pengambilan keputusan publik tersandera oleh koordinasi panjang antarpejabat, maka politik kehilangan vitalitasnya sebagai ruang aksi kolektif. Dalam konteks inilah, penghapusan jabatan Menko dapat dipahami sebagai upaya mengembalikan politik ke wujud praksis: tindakan nyata, cepat, dan dapat dirasakan rakyat.
Meski demikian, kritik ini bukan tanpa sanggahan. Ada yang berpendapat bahwa skala Indonesia yang luas menuntut koordinasi ekstra, dan Menko adalah mekanisme untuk mencegah tumpang tindih kebijakan. Argumen ini sekilas masuk akal, namun sesungguhnya masalah terletak bukan pada kebutuhan akan Menko, melainkan pada lemahnya institutional design kementerian itu sendiri.
Jika kementerian teknis didesain dengan fungsi yang jelas dan Presiden didukung staf ahli profesional, koordinasi dapat berlangsung tanpa harus menambah lapisan baru.
Secara empiris, contoh paling jelas terlihat pada krisis pandemi COVID-19.
Keputusan penanganan kerap berlarut akibat silang pendapat antara kementerian kesehatan, perdagangan, dan Menko terkait.
Laporan LIPI (2021) menyimpulkan bahwa koordinasi berlapis ini menimbulkan inefisiensi signifikan, bahkan memperlambat distribusi bantuan sosial.
Dalam situasi darurat, setiap detik sangat menentukan, dan jabatan Menko terbukti tidak mampu mempercepat proses.
Sekarang kita lihat Konflik Empiris antara Menko dan Menteri Teknis
1. Kasus Impor Beras (2018): Menko Perekonomian Darmin Nasution mendukung rencana impor untuk menjaga stabilitas harga.
Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menolak keras dengan alasan swasembada. Akibatnya, kebijakan berjalan lambat dan menimbulkan kebingungan publik.
.2 Kasus Energi dan Pertambangan (2017–2020): Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Maritim beberapa kali bersilang pendapat dengan Menteri ESDM mengenai kontrak Freeport dan kebijakan energi nasional.
Hal ini menunjukkan Menko tidak selalu menjadi “penyatu,” tetapi justru arena tarik menarik kepentingan.
.3. Kasus Rencana Penundaan Pemilu (2022): Menko Maritim kembali muncul sebagai figur politik dominan, padahal isu ini lebih relevan dibahas pada ranah Menteri Dalam Negeri atau KPU.
Ini menunjukkan adanya pelebaran kewenangan yang ambigu.
Konflik-konflik ini memperlihatkan Menko bukan sekadar pelancar koordinasi, tetapi kadang menjadi aktor dominan yang menggeser fungsi menteri teknis.
Dari keseluruhan analisis, dapat disimpulkan bahwa jabatan Menko merupakan warisan politik yang tidak lagi relevan dengan tuntutan pemerintahan modern. Ia lebih merupakan simbol patronase politik ketimbang alat koordinasi efektif. Menghapus jabatan ini bukan berarti meniadakan koordinasi, melainkan menata ulang fungsi koordinasi agar lebih sederhana, transparan, *dan langsung di bawah kendali Presiden*.
Dari hal2 yg telah saya jabarkan tersebut di atas maka bisa kita lihat berdasarkan analisis empiris, teoretis, dan filosofis, jabatan Menko:
1. Lebih sering menjadi instrumen politik tumpang tindih) ketimbang penggerak koordinasi.
2. Menimbulkan konflik kewenangan dengan menteri teknis.
3. Memperpanjang rantai birokrasi dan memperlambat keputusan.
4. Tidak lazim dalam sistem pemerintahan negara demokratis lain & negara yg terkonsep modern.
Sehinga menurut analisis saya bahwa Penghapusan jabatan Menko paling tidak akan memberikan empat keuntungan utama:
*Pertama*, Pastinya mempersingkat rantai birokrasi;
Faktor ini, Rakyat akan merasakan hasil kebijakan lebih cepat, misalnya dalam distribusi bantuan, pembangunan infrastruktur, atau layanan publik.
Tidak ada lagi proses berbelit yang sering membuat kebijakan tertunda.
Mempersingkat birokrasi ini harus di lakukan dgn transparansi sehinga masyarakat mudah memahami siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tertentu, misalnya: masalah pangan langsung ditangani Menteri Pertanian, tidak perlu “muter” ke Menko Perekonomian dulu.
Kemudian dgn ada nya transparansi yg tersistematis maka hal ini membantu publik lebih mudah mengawasi jalannya pemerintahan.
*kedua* memperjelas akuntabilitas;
Pertanggung jawaban atas fungsi jabatan.
Kabinet lebih sederhana, Effesian & fokus pada kerja.
Dengan terhapus nya Menko maka dlm menjalankan Jabatannya Menteri Teknis lebih mudah di mintai pertanggung jawabannya di mana masyarakat tidak bingung lagi siapa yang harus dimintai tanggung jawab.
Kemudian jika timbul masalah, jelas hanya Presiden bisa langsung menegor keras & tegas kepada Menteri teknis.
Sehingga tidak ada lagi alasan saling lempar tanggung jawab antara Menko dan menteri teknis yang membuat rakyat semakin tdk percaya pd Pemerintah.
*Ketiga*, mengurangi ruang politik ketergantungan pada Parpol sehinga terkesan Presiden seperti tak berdaya di hadapan Parpol karena Posisi Menko bisa saja dijadikan kursi politik untuk membagi kekuasaan.
Dengan menghapus jabatan ini, biaya politik (misalnya kompromi, negosiasi jatah) bisa berkurang.
Anggaran negara yang biasanya terserap ke struktur Menko (staff, fasilitas, protokoler) bisa dialihkan untuk program rakyat: pendidikan, kesehatan, subsidi.
Dalam Pemerintahan dgn tata kelola maka
Menghapus Menko bisa mempersempit ruang bagi pembagian kekuasaan yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat.
*Ke empat* Dalam jangka panjang, langkah ini akan memperkuat institusi kepresidenan sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
*Kelima* keberanian Presiden menghapus Menko adalah membuat Wibawa Presiden yg kuat & murni utk membuat sebuah leap of reform yang akan membawa Indonesia lebih dekat pada cita-cita birokrasi rasional, efisien, dan demokratis.
Salam hormat🙏🏻
God Bless You All
From JP Laa Manroe
JPLM official management staff ; yoelala@yahoo.com
-------00000--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar