Minggu, 14 September 2025

My Presiden, Menko tidak di perlukan lagi dalam kabinet ramping yang Effesien., by JP Laa Manroe

 Surat terbuka ( yg kedua) kepada *Yth Presiden Republik Indonesia*

Dalam bentuk tulisan


*Penulis : JP Laa Manroe*

- Pengamat Kebijakan Nasional, Globalisme & Advokasi. 

- Seniman Budayawan peraih puluhan Award Internasional

Judul tulisan ; 

*My Presiden, Jabatan Menko tidak di perlukan lagi dalam kabinet ramping yang Effesien, hapus saja becouse it is devoid of utility*

* kajian kritis kepentingan Rakyat, Filosofi Politik, Empiris & komparasi Global. 

Tata kelola Pemerintahan yg kuat modern, effesien & sederhana namun berbobot & berwibawa maka mau tidak mau salah satu indikator nya adalah memandang dan menelaah Eksitensi jabatan Menteri Koordinator (Menko) di Indonesia yang selalu dipresentasikan sebagai seakan akan itu adalah solusi kelembagaan demi memastikan koordinasi lintas kementerian. 

Dengan Paradigma di jadikan linear terbentuk bahwa Menko berfungsi sebagai jembatan, pengendali kebijakan, dan penghubung politik agar kebijakan pemerintah berjalan harmonis.. Kemudian terkait hal tersbut, saya berpikir, apa benar seperti itu? 

Mari kita telaah lagi 

 secara mendalam apa benar seperti itu untuk mendapatkan *ad finem et sensum verum assequendum* dlm kerangka makna tujuan kebenaran dlm sinergi dlm kabinet yg effesien &  luwes. 

*For the purpose of examining this issue comprehensively in the context of public governance."* maka mari Kita telaah melalui teropong teori administrasi publik, studi perbandingan internasional, dan refleksi filosofis tentang esensi kekuasaan, jabatan Menko justru lebih tepat dipandang sebagai lapisan tambahan birokrasi yang tidak esensial, dan bisa saja menjadi *fortasse onus aerarii augere* , padahal Negara kita sedang tidak baik baik saja dlm ekonomi, Politik, Hukum dll sehingga seharusnya di lakukan *pengetatatan anggaran* dll dll... 

Terkait hal tersebut maka *saya sebagai anak Bangsa mencoba memberi masukan kepada Yth bapak Presiden* untuk 

  menghapus jabatan Menko dengan pendapat saya, al: 

Dalam perspektif teori Weberian tentang birokrasi Pemerintahan, *kejelasan hierarki dan otoritas adalah syarat mutlak bagi rasionalitas sistem pemerintahan*

 Di mana posisi Menko? 

Menko secara posisional kelembagaan birokrasi Pemerintah berada di antara Presiden dan menteri teknis, menciptakan ambiguitas otoritas.

 Ia bukan pemegang kekuasaan eksekutif penuh atas kementerian, tetapi juga bukan sekadar staf administratif. Ambiguitas ini menghasilkan potensi konflik kepentingan dan memperpanjang rantai komando.

Apakah hal tersebut mempengaruhi kebijakan Nasional yg strategis... 

saya penulis ( JP Laa Manroe) mencoba mengkaji nya : 

Dari *aspek Empirisnya* terlihat jelas ketika beberapa kebijakan strategis ekonomi, misalnya terkait investasi atau energi, justru tersendat karena adanya perbedaan pandangan antara menteri teknis dengan Menko.

 Melihat Hasil penelitian Lembaga Administrasi Negara (LAN, 2018) menunjukkan bahwa lebih dari 40% keterlambatan penyusunan kebijakan lintas sektor terjadi akibat koordinasi antarunit yang tidak sinkron, dan posisi Menko tidak serta-merta memperbaiki masalah itu.

Sehingga di perlukan *ideo necessaria est notio emendationis* krn jika tidak ada konsep perbaikan maka yang di rugikan secara umum adalah rakyat. 

Lebih jauh, jika kita menilik konsep New Public Management (NPM), efisiensi birokrasi menuntut struktur yang ramping, transparan, dan mudah dipertanggungjawabkan. Jabatan Menko, alih-alih menyederhanakan, justru memperbanyak layers of accountability. Ketika terjadi kegagalan kebijakan, publik kesulitan menagih pertanggungjawaban: apakah harus ditujukan kepada menteri teknis, kepada Menko, atau kepada Presiden? Ambiguitas inilah yang menciptakan apa yang disebut oleh Christopher Hood (1991) sebagai accountability trap.

Dari dimensi politik, jabatan Menko lebih sering berfungsi sebagai instrumen distribusi kekuasaan ketimbang kebutuhan koordinasi. Posisi Menko kerap dibagikan untuk menjaga keseimbangan koalisi partai atau di berikan kepada orang2 yg dekat dengan Parpol. 

Analisis yang dilakukan oleh Marcus Mietzner (2015) tentang politik patronase di Indonesia menunjukkan bahwa jabatan menteri, khususnya Menko, sering menjadi currency of coalition. 

Hal ini memperkuat pandangan David Easton bahwa sistem politik bekerja melalui input berupa tuntutan politik dan output berupa distribusi jabatan. Dengan kata lain, Menko bukanlah produk kebutuhan teknokratis, melainkan kebutuhan politis.

Terkait hal dimaksud maka “Itaque ego, scriptor JP Laa Manroe, comparationem linguae Latinae facere debeo.” dengan  praktik positif internasional. 

Inilah comparasi nya : 

*Amerika Serikat, sebagai presidensial murni, tidak memiliki jabatan Menko*. Koordinasi lintas kementerian dijalankan oleh Chief of Staff Gedung Putih yang bersifat administratif, bukan politik. 

*Inggris* mengandalkan Cabinet Office di bawah Perdana Menteri tanpa lapisan menteri koordinatif. 

*Jerman* mempercayakan fungsi koordinasi kepada Bundeskanzleramt, dan *Jepang* mengandalkan Chief Cabinet Secretary.

Sehingga fakta2 tsb mengerucut bahwa :

 Tidak ada satupun negara demokrasi mapan yang menambahkan posisi politik setingkat Menko untuk mengatur koordinasi. 

Fakta ini menunjukkan bahwa jabatan Menko adalah institutional anomaly khas Indonesia yang lebih bernuansa kompromi politik ketimbang inovasi tata kelola dan perbaikan management kabinet. 

Secara filosofis, persoalan Menko bisa dibaca melalui lensa Michel Foucault yang melihat kekuasaan sebagai jejaring relasi. Menko menciptakan distribusi kekuasaan yang justru memecah otoritas Presiden, sehingga efektivitas pengambilan keputusan berkurang.

Jika lihat pemikiran  Machiavelli dalam Il Principe maka ide positif nya adalah menekankan pentingnya konsolidasi kekuasaan agar penguasa dapat bertindak cepat dan efektif.

 Dalam tradisi lain, prinsip Occam’s Razor mengingatkan bahwa entitas kelembagaan tidak perlu ditambahkan jika tidak benar-benar diperlukan, apalagi di Indonesia yg sedang dlm kondisi tidak Baik baik saja terbukti telah terjadi nya demontrasi besar 2 an tgl 25 Agustus sdh awal September thn 2025 kemarin. 

Dari sudut pandang ini, Menko hanyalah beban tambahan yang memperumit eksekusi.

Kritik lain yang perlu diajukan adalah bahwa keberadaan Menko seringkali mengasingkan politik dari rakyat. Hannah Arendt dalam The Human Condition menegaskan bahwa politik sejatinya adalah ruang tindakan yang memungkinkan manusia bersama-sama membentuk dunia. 

Jika proses pengambilan keputusan publik tersandera oleh koordinasi panjang antarpejabat, maka politik kehilangan vitalitasnya sebagai ruang aksi kolektif. Dalam konteks inilah, penghapusan jabatan Menko dapat dipahami sebagai upaya mengembalikan politik ke wujud praksis: tindakan nyata, cepat, dan dapat dirasakan rakyat.

Meski demikian, kritik ini bukan tanpa sanggahan. Ada yang berpendapat bahwa skala Indonesia yang luas menuntut koordinasi ekstra, dan Menko adalah mekanisme untuk mencegah tumpang tindih kebijakan. Argumen ini sekilas masuk akal, namun sesungguhnya masalah terletak bukan pada kebutuhan akan Menko, melainkan pada lemahnya institutional design kementerian itu sendiri. 

Jika kementerian teknis didesain dengan fungsi yang jelas dan Presiden didukung staf ahli profesional, koordinasi dapat berlangsung tanpa harus menambah lapisan baru.

Secara empiris, contoh paling jelas terlihat pada krisis pandemi COVID-19. 

Keputusan penanganan kerap berlarut akibat silang pendapat antara kementerian kesehatan, perdagangan, dan Menko terkait.

 Laporan LIPI (2021) menyimpulkan bahwa koordinasi berlapis ini menimbulkan inefisiensi signifikan, bahkan memperlambat distribusi bantuan sosial. 

Dalam situasi darurat, setiap detik sangat menentukan, dan jabatan Menko terbukti tidak mampu mempercepat proses.

Sekarang kita lihat Konflik Empiris antara Menko dan Menteri Teknis

1. Kasus Impor Beras (2018): Menko Perekonomian Darmin Nasution mendukung rencana impor untuk menjaga stabilitas harga. 

Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menolak keras dengan alasan swasembada. Akibatnya, kebijakan berjalan lambat dan menimbulkan kebingungan publik.

.2 Kasus Energi dan Pertambangan (2017–2020): Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Maritim beberapa kali bersilang pendapat dengan Menteri ESDM mengenai kontrak Freeport dan kebijakan energi nasional. 

Hal ini menunjukkan Menko tidak selalu menjadi “penyatu,” tetapi justru arena tarik menarik kepentingan.

.3. Kasus Rencana Penundaan Pemilu (2022): Menko Maritim kembali muncul sebagai figur politik dominan, padahal isu ini lebih relevan dibahas pada ranah Menteri Dalam Negeri atau KPU.

 Ini menunjukkan adanya pelebaran kewenangan yang ambigu.

Konflik-konflik ini memperlihatkan Menko bukan sekadar pelancar koordinasi, tetapi kadang menjadi aktor dominan yang menggeser fungsi menteri teknis.

Dari keseluruhan analisis, dapat disimpulkan bahwa jabatan Menko merupakan warisan politik yang tidak lagi relevan dengan tuntutan pemerintahan modern. Ia lebih merupakan simbol patronase politik ketimbang alat koordinasi efektif. Menghapus jabatan ini bukan berarti meniadakan koordinasi, melainkan menata ulang fungsi koordinasi agar lebih sederhana, transparan, *dan langsung di bawah kendali Presiden*.

Dari hal2 yg telah saya jabarkan tersebut di atas maka bisa kita lihat berdasarkan analisis empiris, teoretis, dan filosofis, jabatan Menko:

1. Lebih sering menjadi instrumen politik tumpang tindih) ketimbang penggerak koordinasi.

2. Menimbulkan konflik kewenangan dengan menteri teknis.

3. Memperpanjang rantai birokrasi dan memperlambat keputusan.

4. Tidak lazim dalam sistem pemerintahan negara demokratis lain & negara yg terkonsep modern. 

Sehinga menurut analisis saya bahwa  Penghapusan jabatan Menko paling tidak akan memberikan empat keuntungan utama:

 *Pertama*, Pastinya mempersingkat rantai birokrasi; 

Faktor ini, Rakyat akan merasakan hasil kebijakan lebih cepat, misalnya dalam distribusi bantuan, pembangunan infrastruktur, atau layanan publik.

Tidak ada lagi proses berbelit yang sering membuat kebijakan tertunda. 

Mempersingkat birokrasi  ini harus di lakukan dgn transparansi sehinga masyarakat mudah memahami siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tertentu, misalnya: masalah pangan langsung ditangani Menteri Pertanian, tidak perlu “muter” ke Menko Perekonomian dulu.

Kemudian dgn ada nya transparansi yg tersistematis maka hal ini membantu publik lebih mudah mengawasi jalannya pemerintahan.

*kedua* memperjelas akuntabilitas; 

Pertanggung jawaban atas fungsi jabatan. 

Kabinet lebih sederhana, Effesian & fokus pada kerja. 

Dengan terhapus nya Menko maka dlm menjalankan Jabatannya Menteri Teknis lebih mudah di mintai pertanggung jawabannya di mana masyarakat tidak bingung lagi siapa yang harus dimintai tanggung jawab.

Kemudian jika timbul masalah, jelas hanya Presiden bisa langsung menegor keras & tegas kepada Menteri teknis.

Sehingga tidak ada lagi alasan saling lempar tanggung jawab antara Menko dan menteri teknis yang membuat rakyat semakin tdk percaya pd Pemerintah. 

*Ketiga*, mengurangi ruang politik ketergantungan  pada Parpol sehinga terkesan Presiden seperti tak berdaya di hadapan Parpol karena Posisi Menko bisa saja dijadikan kursi politik untuk membagi kekuasaan.

Dengan menghapus jabatan ini, biaya politik (misalnya kompromi, negosiasi jatah) bisa berkurang.

Anggaran negara yang biasanya terserap ke struktur Menko (staff, fasilitas, protokoler) bisa dialihkan untuk program rakyat: pendidikan, kesehatan, subsidi.

Dalam Pemerintahan dgn tata kelola maka 

Menghapus Menko bisa mempersempit ruang bagi pembagian kekuasaan yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat.

*Ke empat* Dalam jangka panjang, langkah ini akan memperkuat institusi kepresidenan  sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

*Kelima* keberanian Presiden menghapus Menko adalah membuat Wibawa Presiden yg kuat & murni utk membuat sebuah leap of reform yang akan membawa Indonesia lebih dekat pada cita-cita birokrasi rasional, efisien, dan demokratis.

Salam hormat🙏🏻

God Bless You All

From JP Laa Manroe

JPLM official management staff ; yoelala@yahoo.com

-------00000--

Selasa, 02 September 2025

JP Laa Manroe: Presiden Prabowo Jangan Mundur, Justru Harus lalui jalan terjal dan berliku utk lakukan Reformasi & Restorasi*

 *Surat terbuka utk Yth, Presiden Prabowo*, dalam bentuk tulisan:


*Presiden Prabowo Jangan Mundur, Justru Harus lalui jalan terjal dan berliku utk lakukan Reformasi & Restorasi*


Sebuah Refleksi Filsafat Sosial Politik, ekonomi, Kebijakan Nasional dan Kajian Krisis. 

Di tulis oleh : *JP Laa Manroe*

- Pengamat kebijakan Nasional, Advokasi & Komunikasi

- Seniman Budayawan Peraih puluhan Award Internasional termasuk peraih Award tertera *Nobel World Artis Contest*

*I. Pendahuluan: Krisis, Demonstrasi, dan Jalan Sunyi Kekuasaan*

Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia dalam beberapa hari terakhir ini menandakan sesuatu yang lebih dari sekadar gejolak sosial. 

Hal itu adalah bahasa rakyat yang lahir dari luka panjang  (*Lingua populi nata ex vulneribus longis*) 

ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, dan ketidakpercayaan terhadap elite politik.

Dan saat ini Kita sedang memperjuangkan &  berjuang keluar dari 

*“Iniustitia oeconomica, inaequalitas socialis, et diffidentia in principibus politicis.”*

 Lebih jauh lagi, kecurigaan rakyat atas cengkeraman oligarki dalam negeri, mafia internasional yang di analisis menguasai sektor-sektor vital yakni pangan, energi, hingga tambang, sehingga memperkuat anggapan dalam pikiran rakyat bahwa kedaulatan bangsa sedang terancam.

Di seluruh dunia, Korupsi menyebabkan kemiskinan terstruktur, kehancuran ekonomi, hutang negara menggunung, kebijakan ugal ugalan tidak pro rakyat, ambruk nya keadilan dan rontoknya law enforcement, pajak menjulang, sulitnya cari kerja, hilangnya moral bangsa dan menguapnya etika sosial politik dll dll 

*Apakah bangsa Indonesia sudah mengalami hal tersebut?*

Jawaban Analisa kritis nya adalah *Proses kesana terlihat sedang berjalan ( InProses)* buktinya Mahasiswa, aktivis, para buruh dan rakyat sudah turun ke jalan demontrasi besar2 an beberapa hari di beberapa wilayah Indonesia mulai tanggal 25 Agustus kemarin. 

Hanya saja jangan sampai Demonstrasi tersebut di tunggani oleh pihak2 pengacau yg memanfaat kan hal tersebut.

Memang situasi yang terlihat sekarang dan juga korupsi gila gilaan saat ini bukan semata mata akibat Pemerintahan Prabowo tapi secara data akademis hal tersebut adalah akumulasi peninggalan jejak jejak Pemerintahan sebelumnya, 

Namun Prabowo, jajarannya, para Menteri kabinet di harapkan jangan memperparah kondisi dengan kebijakan kebijakan yang tidak Pro Rakyat yang membuat rakyat kecewa berat sehingga bergerak serentak. 

*Ingat : Suara Rakyat Suara Tuhan ( Vox Populi Vox Dei)*


Di tengah situasi ini, muncul wacana: *“Prabowo harus mundur.”*

Tetapi dari perspektif filsafat politik dan analisis kebijakan, *mundur bukanlah solusi, melainkan jalan pintas yang berbahaya* kemudian di ambil alih oleh siapapun yang mengincar jabatan kekuasaan itu. 

Sejarah justru menuntut Prabowo untuk *melakukan transformasi besar besaran, bukan sekadar bertahan*

*II. Kerangka Teori: Filsafat Keadilan dan Negara*

1. Bicara Negara dan keadilan maka kita bisa merefer gagasan *Plato* yaitu Keadilan sebagai Harmoni.

Negara adil adalah negara yang setiap elemennya menempati fungsi kodratinya. Disharmoni terjadi ketika elite menyalahgunakan kekuasaan dan rakyat kehilangan hak dasar.

2. Sedangkan dalam perjalan waktu maka banyak terjadi gesekan & ketimpangan yang menyebabkan ketidakadilan sehingga benar teori *Rousseau* tentang Ketimpangan dan Kontrak Sosial.

Ketidakadilan muncul ketika “beberapa orang berkata, ini tanahku, lalu orang lain mempercayainya.” Mafia dan oligarki adalah manifestasi modern dari pengkhianatan kontrak sosial.

3. Lalu masuk logika bagaimana keadilan kalau hanya menguntungkan sekelompok elite sedangkan rakyat masih hidup sulit dan prihatin seperti yang di nyatakan *Rawls* yaitu seharusnya Keadilan sebagai Fairness.

*Ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan bila menguntungkan mereka yang paling miskin*. Maka, pembangunan harus berpihak pada kaum lemah, bukan sekadar memanjakan investor besar.

4. Lebih lanjut lagi secara Visioner kondisi bangsa ini sudah di prediksi oleh *Bung Karno* (Kedaulatan sebagai Inti Bangsa)

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” 

Oligarki domestik hari ini adalah wajah baru mirip penjajahan.

5. Sehingga benarlah pernyataan Gus Dur yang selalu menyatakan *Pluralitas dan Kemanusiaan*

“Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Politik yang berkeadilan harus memanusiakan rakyat, bukan memperalat hukum untuk oligarki.

*III. Metodologi Analisis*

Tulisan saya ini dari Metodologi yang  menggunakan pendekatan filsafat politik kritis dengan tiga instrumen analisis:

1. Hermeneutika Filsafat  menafsirkan ulang gagasan klasik (Plato, Rousseau, Rawls, hingga Soekarno dan Gus Dur) dalam konteks krisis Indonesia kontemporer.

2. Analisis Struktural , melihat relasi antara oligarki, mafia internasional, dan negara.

3. Pendekatan Historis-Kritis menilai posisi Prabowo dalam mata rantai sejarah kepemimpinan Indonesia: apakah ia sekadar transisi ataukah pembaharu.

*IV. Studi Kasus: Demonstrasi dan Ketimpangan Sosial*

1. Ketimpangan Ekonomi

*Dulu Prof Dr Soemitro Begawan Ekonomi yg jujur dan sederhana di masa orde baru dengan berani dan penuh resiko  mengungkapkan Dana APBN bocor 30 %,*, sehingga timbul istilah ada nya Dana Siluman

Kondisi Saat ini : 

Data BPS dan laporan Bank Dunia menunjukkan jurang kaya-miskin makin melebar. 1% orang terkaya menguasai lebih dari 40% kekayaan nasional. 

Rakyat kecil kesulitan mengakses lapangan kerja dan layanan dasar.

2. Sangat tinggi nya Gaji take home pay para pejabat negara termasuk gaji DPR, Komisaris & Direksi serta tantiemnya 

3. Mafia Pangan dan Energi

Kasus mafia beras, BBM, dan batu bara berulang kali mencuat, menandakan lemahnya kedaulatan negara. Situasi ini sesuai dengan tesis *Tan Malaka* dalam Madilog: bangsa yang tak mandiri ekonominya akan terus terjajah.

4. Penyebab utama : Korupsi gila gilaan Triyun trilyun

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindak kriminal atau penyimpangan individu, melainkan sebuah penyakit sosial yang merasuki sendi-sendi institusi negara, merongrong legitimasi demokrasi, dan memperlebar jurang ketidakadilan struktural. Dari perspektif teori keadilan *Rawls*, korupsi menciptakan masyarakat yang gagal melindungi kepentingan kelompok paling rentan. Prinsip difference principle yang seharusnya menjamin bahwa setiap ketimpangan hanya sah sejauh memberi manfaat bagi kelompok paling lemah justru dibalikkan logikanya: korupsi memperkaya segelintir elit dan menjerumuskan jutaan rakyat ke dalam kemiskinan sistemik.

Bila dilihat melalui kacamata *Habermas*, *korupsi membunuh ruang publik deliberatif*. Dialog yang seharusnya didasarkan pada rasionalitas komunikatif digantikan oleh transaksi kuasa, lobi gelap, dan kooptasi politik uang. 

Demokrasi kehilangan substansinya karena suara rakyat tidak lagi terpantul dalam kebijakan, melainkan ditenggelamkan oleh kepentingan tertentu. 

Sementara itu, melalui kerangka *Foucault*, kita dapat membaca *korupsi sebagai teknologi kuasa yang mereproduksi* dirinya dalam jaringan birokrasi, hukum, dan ekonomi. 

Korupsi bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan sebuah regime of truth yang menormalisasi penyalahgunaan wewenang sehingga generasi baru tumbuh dalam atmosfer permisif terhadap praktik kotor.

Secara empiris, dampak korupsi telah nyata: rasio gini stagnan di kisaran 0,38–0,40, menandakan ketimpangan kronis; tingkat kemiskinan nasional berkisar 9–10%, tetapi kemiskinan multidimensi jauh lebih luas, menyentuh aspek pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap pekerjaan layak; rasio pajak stagnan pada 9–10% dari PDB, jauh tertinggal dari standar negara berkembang (15–20%); sementara *utang negara menembus lebih dari Rp 8.000 triliun*, sebagian besar dialokasikan untuk pembayaran bunga, alih-alih pembangunan produktif. 

Ironisnya, di indikasikan setiap rupiah terus menerus hilang akibat korupsi  *menurut KPK* jumlahnya triliunan per tahun sehingga mencerminkan sekolah yang tidak terbangun maksimal demikian juga rumah sakit gratis atau murah yang tidak berdiri, dan generasi yang kehilangan kesempatan hidup lebih baik.

Secara normatif, kondisi ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kontrak sosial bangsa. *Konstitusi Indonesia (UUD 1945)* menegaskan tujuan bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, *setiap pejabat korup sejatinya bukan sekadar pencuri uang rakyat, melainkan pengkhianat cita-cita kemerdekaan*.

5. Demonstrasi sebagai Ruang Publik

Gerakan mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil adalah refleksi nyata dari “ruang publik” ala *Habermas*. Mereka menyampaikan aspirasi bukan lewat parlemen, tetapi lewat jalanan, karena ruang formal politik dianggap macet oleh oligarki.

6. Krisis Legitimasi

Di tengah tekanan sosial ini, muncul tuntutan agar presiden mundur. Namun, pengalaman sejarah (*misalnya pengunduran diri Soeharto 1998*) menunjukkan bahwa mundurnya seorang presiden tanpa perubahan struktural hanya menciptakan kekosongan dan instabilitas baru dan di manfaatkan oleh lawan lawan politik nya yang belum tentu bisa membangun  bangsa yang lebih baik bahkan jika salah langkah malah mungkin sebaliknya negara menjadi lebih buruk. 

*V. Rekomendasi Kebijakan: Agenda Perubahan Mendesak*

1. Menegakkan Kedaulatan Ekonomi

Reformasi total sektor pangan, energi, dan tambang.

Membangun food estate berbasis koperasi rakyat, bukan konglomerasi.

Menahan denga keras arus ketergantungan pada  mafia impor.

2. Redistribusi Sosial dan Ekonomi

Subsidi produktif untuk UMKM.

Program pemerataan digital dan pendidikan vokasi.

Land reform modern berbasis keadilan sosial.

3. Reformasi Hukum dan Pemberantasan Mafia

Penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Audit transparan pada kebijakan strategis.

Reformasi peradilan agar bebas dari intervensi oligarki.

4. Dialog Nasional dengan Rakyat

Membuka ruang dialog terbuka dengan demonstran.

*Membentuk National Crisis Council yang melibatkan akademisi, pengamat pengamat kritis, tokoh masyarakat, dan organisasi rakyat*.

Menghidupkan kembali roh musyawarah Pancasila.

5. Nation and Character Building

Menjadikan pendidikan karakter sebagai prioritas.

*Menghidupkan kembali ideologi Pancasila sebagai fondasi moral politik*

Memimpin dengan keteladanan, bukan sekadar instruksi.

6. Presiden segeralah *keluarkan Perpu hukuman mati ( atau hukuman seumur hidup) utk koruptor dan rampas asset nya serta miskinkan koruptor* 

*VI. Kesimpulan: Jalan Eksistensial Seorang Presiden*

Di akhir tulisan ini saya menyimpulkan 

Mundur adalah pelarian, bukan jawaban. 

Mundur berarti memberi kesempatan oligarki mengisi kekosongan utk menguasai bangsa. 

Tetapi memilih perubahan drastis utk Bangsa & Negara berarti *memasuki jalan sunyi revolusioner kepemimpinan yang sesungguhnya dan mempesona*

*Nietzsche* mengingatkan: “Orang besar adalah ia yang berani berkata ya kepada penderitaan.” 

Saat ini Sejarah sedang menuntut Presiden Prabowo berkata ya pada penderitaan rakyatlah yang akan menjadikannya bahan bakar utama perubahan besar besaran struktural, kultural & Fungsional. 

Jend Prabowo bisa memilih untuk dikenang sebagai presiden transisi yang gagal jika mundur, atau sebagai negarawan besar yang melawan arus status quo. 

*Jalan itu kini terbuka walau jalan yang terjal dan berliku* tetapi hanya di sanalah sejarah akan menuliskan namanya, Presiden pasti sangat mampu lewati jalan terjal dan berliku karena harapan rakyat ada di pundak Presiden untuk melakukan Reformasi dan Restorasi bangsa. 

Jika jalan itu berhasil di lalui atau katakanlah *in-progress* menuju finalisasi maka saya yakin jangankan 100 %  bahkan 1000  persen rakyat mendukung dengan tetesan air mata bangga dan semangat membara dengan satu kalimat 

*We*, *the Indonesian people, are always on your side, our President forever*

God Bless you Forever

From JP Laa Manroe ( *Pemikir Pejuang Pejuang Pemikir*) 

JPLM official management staff: yoelala@yahoo.com

-----------0000----