*DPR Sulit Dibubarkan: Lebih baik tuntut turunkan gaji Take home pay DPR secara Drastis*
By JP Laa Manroe (
- Pengamat Kebijakan Nasional, Advokasi & Komunikasi .
- Telah mengharumkan bangsa dengan memperoleh puluhan Award Internasional.
Seperti kita lihat dalam ruang politik Indonesia, wacana pembubaran DPR RI sesekali muncul, terutama ketika publik dikecewakan oleh perilaku wakil rakyat. Namun secara konstitusional, wacana itu sulit di lakukan dari aspek hukum tata negara namun Demonstrasi besar2 an memang di perlukan ketika suara rakyat tidak di dengar lagi dan demonstrasi juga sah sebagai bagian dari Demokrasi.
Secara teori DPR bukan sekadar institusi politik biasa, tetapi salah satu pilar fundamental dalam arsitektur negara, yang keberadaannya dijamin langsung oleh UUD 1945.
DPR RI dalam khasanah Perspektif Tata Negara
Dalam Konstitusi DPR sebagai lembaga legislatif yang memiliki tiga fungsi utama: *legislasi (pembentuk undang-undang)*, "*anggaran* dan *pengawasan*.
Pasal 19 UUD 1945 menegaskan bahwa DPR terbentuk dari hasil pemilu, dan pasal-pasal berikutnya memberi DPR kedudukan yang kokoh sebagai representasi rakyat.
Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, tidak ada mekanisme bagi Presiden untuk membubarkan DPR. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer di Eropa, di mana Perdana Menteri dapat meminta Raja atau Presiden untuk membubarkan parlemen jika terjadi kebuntuan politik.
Di Indonesia, Presiden dan DPR sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilu.
Dengan demikian, keduanya berdiri sejajar, tidak ada yang lebih tinggi.
Bahkan, secara hukum tata negara, *satu-satunya cara menghapus DPR adalah melalui amandemen UUD 1945. Namun, ironinya, *proses amandemen itu harus dilakukan melalui MPR*, *yang anggotanya sebagian besar adalah anggota DPR itu sendiri. Dengan kata lain, membubarkan DPR berarti meminta mereka untuk membubarkan diri. Dan itu jelas mustahil* karena setiap lembaga kekuasaan cenderung mempertahankan eksistensinya.
Mari kita lihat beberapa Faktor yg menyebabkan mengapa DPR sangat sulit di bubarkan :
1. Konstitusi UUD 1945 Menjamin Keberadaan DPR
DPR adalah lembaga negara yang disebut langsung dalam UUD 1945.
Pasal 19 UUD 1945: “Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.”
Artinya, selama UUD 1945 berlaku, DPR tidak bisa dihapus begitu saja tanpa mengubah konstitusi secara keseluruhan.
2. DPR Adalah Bagian dari Sistem Presidensial
Indonesia menganut sistem presidensial, di mana ada pemisahan kekuasaan:
Eksekutif: Presiden, Legislatif: DPR & Yudikatif: Mahkamah Agung & MK.
Kalau DPR dibubarkan, maka otomatis sistem presidensial ambruk, karena tidak ada lagi lembaga legislatif yang membuat UU dan mengawasi pemerintah.
3. Presiden Tidak Punya Wewenang Membubarkan DPR
Berbeda dengan sistem parlementer (misalnya Inggris atau Belanda), di mana Perdana Menteri bisa mengusulkan pembubaran parlemen, dalam sistem presidensial Presiden tidak bisa membubarkan DPR.
Presiden dan DPR sama-sama hasil pemilu, sehingga keduanya memiliki legitimasi langsung dari rakyat.
4. Mekanisme Amandemen Konstitusi Sangat Sulit
Untuk menghapus DPR, UUD 1945 harus diamandemen melalui MPR.
Amandemen membutuhkan persetujuan 2/3 anggota MPR.
Karena anggota DPR juga duduk di MPR, maka mereka pasti menolak membubarkan dirinya sendiri.
5. Secara Politik, Hampir Mustahil
DPR adalah “rumah” bagi partai politik.
Semua partai politik punya kepentingan besar mempertahankan DPR karena di sanalah mereka punya kuasa dan akses pada anggaran negara.
Maka, secara politik, tidak ada kekuatan partai yang rela menghapus DPR.
Sehingga sekali bisa di katakan Membubarkan DPR RI tidak mungkin dilakukan dalam sistem hukum dan politik Indonesia saat ini, *kecuali Indonesia benar-benar melakukan revolusi total dengan mengganti konstitusi.*
Itulah sebabnya jauh lebih realistis dan strategis bila mahasiswa serta rakyat menuntut pemangkasan gaji, tunjangan, dan fasilitas DPR, dibandingkan bermimpi membubarkannya.
Bayangkan, *gaji take home pay seorang anggota DPR yang konon bisa mencapai angka fantastis hingga *lebih 4,2 milyar rupiah per tahun* jika dihitung dengan segala tunjangan, fasilitas, dan dana aspirasi dll maka sungguh tidak masuk akal bagi sebuah negeri yang masih berjuang melawan kemiskinan struktural.
Apalagi di tengah *fakta bahwa jutaan rakyat kecil harus bertahan hidup dengan penghasilan di bawah UMR, sulit nya cari pekerjaan, harga harga mahal, pajak tinggi, hutang negara yg sangat tinggi, sulitnya rakyat me ndapatkan keadilan sejati* jika berhadapan dgn yg terkait aparat bidang hukum dll dll
Kekuasaan, Mandat, dan Paradoks Representasi
Di sini kita masuk ke ranah filsafat politik. Rousseau dalam Du Contrat Social berbicara tentang kontrak sosial: kedaulatan sejati ada di tangan rakyat, namun demi keteraturan, rakyat menyerahkan mandat itu kepada wakil-wakilnya. Dalam teori, DPR adalah “suara rakyat”. Dalam praktik, DPR sering kali menjadi “suara partai” atau bahkan “suara kepentingan pribadi”. Terjadi jurang antara rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan DPR sebagai pemegang mandat.
Lord Acton pernah berkata: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan DPR bukanlah absolut, namun privilese ekonomi dan politik yang melekat padanya sering melahirkan penyalahgunaan wewenang.
Di titik inilah rakyat frustrasi dan menyerukan pembubaran. Tetapi filsafat kekuasaan mengajarkan, kekuasaan jarang bisa dihapus, ia hanya bisa ditransformasikan.
Mengikis Privilese, Menjinakkan Kekuasaan
Plato pernah membayangkan pemimpin ideal sebagai philosopher-king, sosok yang memimpin bukan karena harta atau kedudukan, melainkan karena cinta pada kebenaran.
Ideal ini seolah jauh dari realitas DPR yang dikenal dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas serba mewah.
Namun di sinilah titik terang: jika DPR tidak bisa dibubarkan, maka cara paling realistis adalah mencabut privilese mereka. Potong gaji hingga batas wajar misalnya Rp 40 juta per bulan atau total Rp 480 juta,- / tahun tanpa fasilitas mewah tanpa ada nya tambahan dana aspirasi, dana Reses/kunker dan tanpa tunjangan tunjangan lainnya dan itupun Rp 40 juta, - / bulan *"All In"* masih jauh di atas gaji guru, buruh, atau petani, tetapi cukup untuk mengingatkan bahwa DPR bukanlah karier elitis, melainkan panggilan pengabdian.
Mahasiswa, Buruh & rakyat secara Demokratis bisa saja melakukan Demontrasi utk menuntut agar gaji take home pay DPR di turunkan drastis dgn pertimbangan, :
Mengapa Gaji DPR Harus Diturunkan Drastis?
1. Hutang Negara Menggunung
Utang luar negeri Indonesia terus naik hingga ribuan triliun rupiah, dengan beban bunga yang harus dibayar setiap tahun.
Di tengah kondisi ini, membiarkan DPR menerima gaji dan tunjangan miliaran rupiah adalah bentuk ironi. Bagaimana mungkin rakyat harus menanggung beban pajak untuk membayar utang, sementara wakil rakyat justru hidup mewah?
2. Rakyat Masih Sulit Hidup
Data BPS menunjukkan masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan.
Akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan layak masih terbatas.
Ketika rakyat antre beras murah dan listrik subsidi, DPR justru menikmati fasilitas mobil dinas, rumah dinas, tiket gratis, dan tunjangan besar. Ini menciptakan jurang ketidakadilan sosial.
3. Lapangan Kerja yang Sulit
Pengangguran masih tinggi, terutama di kalangan muda. Banyak sarjana tidak terserap lapangan kerja.
Wajar bila muncul pertanyaan: mengapa DPR yang tidak menghasilkan lapangan kerja langsung justru diganjar gaji luar biasa besar? Bukankah fungsi mereka adalah melayani rakyat, bukan menjadi beban rakyat?
4. Pajak yang Melambung
Rakyat semakin ditekan dengan pajak baru, kenaikan tarif, dan potensi pungutan lain.
Tetapi sementara rakyat bayar pajak, DPR justru menggunakan pajak itu untuk membiayai gaya hidup mereka.
Hal ini menimbulkan krisis legitimasi moral: rakyat bekerja keras, DPR menikmati hasilnya.
5. Harga Kebutuhan Pokok Naik
Harga beras, minyak goreng, listrik, BBM, dan transportasi terus merangkak naik.
Ketika rakyat harus mengencangkan ikat pinggang, DPR tetap aman dengan berbagai fasilitas, tunjangan dan kompensasi.
Di sini terlihat jelas adanya ketidakpekaan elit terhadap realitas rakyat.
6. Kinerja DPR yang Sering Dipertanyakan
Jika kita telusuri dan kita amati maka banyak undang-undang disusun tapi di pertanyaan oleh rakyat, bahkan menimbulkan kontroversi.
Ada pula yang Tingkat kehadiran dalam sidang sering rendah.
Belum lagi anggota DPR yang di tangkap KPK . Apakah kinerja semacam ini pantas diganjar gaji miliaran per tahun ?? Jelas tidak.
7. Etika Pengabdian yang Hilang
Sejatinya, menjadi anggota DPR adalah amanah, bukan profesi untuk mencari kekayaan.
Dengan gaji fantastis, motivasi orang masuk DPR bisa saja ada motivasi lain yang kearah karena uang & kekuasaan sehingga kadang lupa dengan apa arti nya pengabdian sejati pada rakyat.
Menurunkan gaji hingga Rp40 juta take home pay / bulan atau *Rp 480 jt,- / tahun* dari yang semula *Rp 4,2 Milyar / tahun* adalah wajar dan di cabutnya fasilitas & tunjangan yaitu tunjangan rumah, mobil, dana aspirasi, dana Reses/ kunker dll akan menyaring siapa yang benar-benar mau bekerja untuk rakyat.
8. Efisiensi Anggaran Negara
Anggaran negara terbatas. Fasilitas DPR yang boros sebaiknya dialihkan untuk:
subsidi pendidikan,
beasiswa anak miskin,
pelayanan kesehatan,
pembangunan desa,
dan program penciptaan lapangan kerja.
Dengan begitu, uang rakyat kembali ke rakyat, bukan ke elit.
9. Moralitas Politik
Negara yang sehat adalah negara di mana pemimpin rela hidup sederhana.
Banyak tokoh dunia memberi teladan kesederhanaan: Nelson Mandela menolak hidup mewah, José Mujica (mantan Presiden Uruguay) menyumbangkan 90% gajinya untuk rakyat.
Sehingga Ketika kursi DPR tidak lagi dihiasi fasilitas miliaran rupiah, maka hanya mereka yang benar-benar berniat melayani rakyat yang akan bertahan. Inilah yang disebut para filsuf politik sebagai delegitimasi simbolik: rakyat mengikis aura kekuasaan, memaksa penguasa kembali pada esensi aslinya melayani, bukan menikmati.
Rakyat sebagai Pemilik Kedaulatan
Kita perlu kembali pada gagasan besar demokrasi: vox populi, vox Dei suara rakyat adalah suara Tuhan. DPR ada karena rakyat, bukan sebaliknya. Membubarkan DPR memang tidak mungkin secara konstitusional, tetapi mereduksi privilese DPR adalah bentuk lain dari rakyat menegaskan kedaulatannya.
Michel Foucault pernah menulis bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan dari atas, tetapi juga bisa dilawan dari bawah melalui resistensi.
Jika mahasiswa dan rakyat menuntut pemangkasan gaji DPR, itu adalah bentuk resistensi yang nyata. Resistensi yang tidak membongkar bangunan konstitusi, tetapi tetap mampu mengguncang kenyamanan kekuasaan.
Dari hal2 yang sdh saya jabarkan di atas maka Membubarkan DPR adalah jalan buntu hukum tata negara. Tetapi memaksa DPR hidup sederhana adalah jalan pembebasan. Dengan begitu, kursi parlemen bukan lagi magnet bagi mereka yang hanya haus uang, tetapi medan pengabdian bagi mereka yang tulus.
DPR tidak bisa dibubarkan, tapi DPR bisa di jinakkan bukan dengan amarah kosong, melainkan dengan tuntutan konkret: potong gaji, cabut segala fasilitas termasuk hilangkan dana aspirasi, dana Reses / dana kunker daerah / perjalanan dinas dan hilangkan segala fasilitas & segala tunjangan , kembalikan DPR kepada rakyat.
Dengan bahasa lain saya ( penulis) ingin sampaikan bahwa
di balik “kemustahilan” membubarkan DPR itu, bukan berarti rakyat, terutama mahasiswa, buruh, rakyat sebagai kekuatan moral bangsa, tidak bisa menyuarakan perlawanan terhadap praktik boros, elitis, dan lupa kepentingan rakyat yang hidupnya sangat susah yang di perlihatkan oleh DPR belakangan ini.
Justru ada jalur lain yang lebih masuk akal, lebih membumi, dan langsung menyentuh akar masalah: yakni Demontrasi turunkan gaji take home pay secara drastis serta hilangkan fasilitas mewah, hilangkan tunjangan, hilangkan dana aspirasi, tunjangan studi banding, dana reses/ kunker anggota DPR.
Sehingga Sebaiknya tuntutan yang lebih rasional dan revolusioner adalah: turunkan gaji dan fasilitas DPR RI secara drastis. Cukup total Rp40 juta per bulan take home pay ( All in) atau Rp 480 jt,- / tahun tanpa fasilitas apapun termasuk tanpa dana aspirasi, dana Reses/ Kunker dll dan mereka di berikan ruang kerja sederhana.
*Namun angka Rp 480 jt,- / tahun pun tetap jauh di atas rata-rata pendapatan rakyat*, tetapi sekaligus *mengingatkan bahwa menjadi wakil rakyat bukanlah profesi mewah, melainkan pengabdian*.
*Jika benar-benar tulus berjuang untuk rakyat, maka seorang anggota DPR seharusnya tidak keberatan hidup sederhana bersama rakyat yang diwakilinya*.
Dengan demikian, disamping Mahasiswa yg menuntut pembubaran DPR maka mahasiswa, buruh & rakyat terus juga serukan tuntut agar gaji take home pay DPR dipangkas habis habisan secara drastis dari kemewahan dan privilese yang selama ini menempel.
Sebab, jika gaji dan fasilitas DPR RI dikembalikan pada logika pengabdian, bukan kenikmatan, *maka hanya mereka yang benar-benar berniat tulus melayani bangsa yang akan bersedia duduk di kursi itu*.
From : JP Laa Manroe
JPLM official management staff: yoelala@yahoo.com
-----000--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar